Sabtu, 14 Mei 2011

Mengubah Ujian Menjadi Pujian



“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan/ujian kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Inna Lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al Baqarah [2]: 155-157)
          
Sebagai orang yang beriman, tidak ada yang bisa dilakukan selain menyikapi ujian secara benar dan sesuai dengan petunjuk Allah swt agar ujian tersebut bisa berubah menjadi pujian di sisi-Nya. Ayat di atas telah memberikan rambu-rambu dalam menyikapi berbagai macam ujian sehingga bisa berubah menjadi pujian.

Ujian adalah Sunnatullah

            Sesungguhnya ujian (ibtila’) adalah Sunnatullah fil Hayah (dalam kehidupan). Adalah mustahil hidup di dunia tanpa ujian. Begitu pastinya ujian, maka dalam ayat di atas sampai perlu dihadirkan 2 (dua) huruf at-Taukid (kata penegas); yaitu al Laam dan Nun at Taukid pada lafazh “Wa lanabluwannakum” (Dan sungguh pasti Kami akan menguji kalian). Bahkan redaksinya pun dengan menggunakan Fi’il Mudhari’ yang berarti berkesinambungan.
            Apa bentuk ujiannya? Dengan sedikit ketakutan dan kelaparan. Jauh lebih ringan dari cobaan dan musibah yang Allah berikan kepada umat-umat terdahulu sebagaimana firman Allah, “... karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat” (QS An Nahl [16]: 112). Di antara bentuk ujian Allah adalah kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Ujian adalah tuntutan keimanan
            Allah swt telah menegaskan bahwa ujian termasuk Qadhaaya Imaniyah (diskursus keimanan) bahkan merupakan Muqtadlayaatul Iman (tuntutan keimanan) sebagaimana dalam firman-Nya, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al ‘Ankabuut [29]: 2-3)
            Karena itulah manusia-manusia pilihan Allah, para nabi dan rasul juga diuji. Nabi Ibrahim as diuji untuk menyembelih putranya. Nabi Ayub as diuji dengan penyakit selama bertahun-tahun. Termasuk Rasulullah saw juga menghadapi begitu banyak ujian dan cobaan. Ujian adalah cara Allah untuk menggembleng dan meningkatkan derajat para hamba-Nya.          Nabi saw bersabda,“Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan, maka Dia akan mengujinya.” Karenanya, ujian sesungguhnya merupakan kebaikan bagi seorang mukmin. Sebab, dengan ujian dan musibah itu menjadikannya selalu bersandar kepada Allah, mendekat dan ta’at kepada-Nya serta meninggalkan semua bentuk kemaksiatan.
Rasulullah pernah bersabda, “Besarnya ganjaran pahala sesungguhnya berasal dari besarnya petaka/musibah yang menimpa. Dan apabila Allah mencintai suatu kaum maka Ia akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridha, maka Allah pun ridha padanya, dan barangsiapa yang murka karenanya, maka Allah pun murka padanya.” 

 

Hadapi ujian dan musibah dengan sabar

            Manusia tidak sama dalam menyikapi ujian. Ada yang tidak sabar, bahkan sering menyalahkan Tuhan, dan ada yang sabar. Karena itu, reward yang diberikan Allah kepada manusia yang diuji pun berbeda-beda, sesuai dengan penyikapannya terhadap ujian dan musibah.
Maka, sikap pertama yang bisa mengubah ujian menjadi pujian adalah dengan sabar. Bagi orang yang sabar saat diuji, maka Allah memujinya dan melimpahkan kepadanya pahala yang besar, “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”, begitulah Allah sampaikan dalam ayat di atas. Bagi yang tidak sabar, berarti tidak pantas mendapatkan berita gembira dari Rabbul ‘Aalamin. Sebab, ia sama saja tidak beriman kepada Qadha dan Qadar Allah.
            Begitu banyak ayat dan hadits yang menyemangati kita untuk selalu bersabar dalam menghadapi ujian dan musibah. Di antaranya , irman Allah, “Dan mohon pertolonganlah kalian dengan sabar dan shalat. (QS Al Baqarah [2]: 45)
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS Az Zumar [39]: 10)
            Rasulullah saw bersabda, “Sungguh amat menakjubkan urusan orang yang beriman, karena semua urusannya adalah kebaikan semata, dan tak seorang pun yang memiliki hal itu selain orang beriman. Apabila ia memperoleh kegembiraan (nikmat), lalu ia bersyukur, maka itu kebaikan baginya. Dan apabila ia tertimpa keburukan/bencana, lalu ia bersabar, maka itu pun kebaikan baginya.”
Kembali kepada Allah
            Kesabaran yang hakiki adalah kesabaran yang mampu menyadarkan manusia bahwa semua yang ada di dunia milik Allah dan cepat atau lambat pasti akan kembali kepada Allah, “(orang-orang yang sabar yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Inna Lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”
            Seluruh jagat raya ini milik Allah, termasuk harta, rumah, anak, istri dan sebagainya. Semua itu diamanahkan dan dititipkan kepada kita. Untuk selanjutnya akan diminta pertanggungjawaban di akhirat nanti. Sebagai Pemilik, Allah berhak mengambilnya kapan saja sekehendak-Nya. Karena itulah, kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya jika sewaktu-waktu diri, harta, anak, istri dan semua yang ada di sekitar kita diambil oleh Allah.

Pujian dan penghargaan bagi orang yang sabar

            Bagi orang sabar ketika diuji dan meyakini Qadha dan Qadar Allah, baik atau buruk sehingga menerima dengan ikhlas dan tabah terhadap semua jenis cobaan dan musibah, maka Allah menganugerahkan kepadanya 3 (tiga) pujian dan penghargaan besar:
Pertama, mendapat shalawat dari Allah. Mereka diangkat derajatnya oleh Allah, disejajarkan dengan Rasulullah saw dalam memperoleh penghargaan ini (Lihat Fi Zhilal Al Qur’an, Sayyid Quthb, I/139-140) sebagaimana firman Allah dalam QS Al Ahzab [33]: 56,“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.” Shalawat dari Allah berarti maghfirah (pengampunan), dukungan, pertolongan, kemenangan, dimudahkan urusan dunia dan akhiratnya, dan sebagainya.
Kedua, mendapat rahmat Allah. Hanya orang yang tidak waras akalnya yang tidak mengharap rahmat Allah. Dengan rahmat Allah-lah seseorang masuk surga.
Ketiga, mendapat predikat sebagai Al Muhtaduun, “mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.Kehadiran dhamir “Hum” dalam ayat di atas memberikan pemahaman bahwa hanya merekalah yang pantas bergelar Al Muhtaduun, sementara yang lain tidak.

Akibat maksiat dan dosa

            Begitupun sesungguhnya musibah dan bencana tidak terjadi begitu saja, melainkan karena ada pemicunya, yaitu maksiat dan dosa. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah dalam banyak ayat, di antaranya,“Dan musibah apa pun (gempa bumi, penyakit menular, longsor) yang menimpa kamu, adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Asy Syuura [42]: 30)
            Semoga ujian dan musibah kali ini mampu memotivasi kita semua, dari rakyat sampai pejabat, untuk melakukan perubahan yang signifikan dalam kehidupan kita dengan melakukan muhasabah (introspeksi dan mengevaluasi diri) kemudian cepat bertobat kepada Allah dari segala dosa dan kesalahan, sehingga membuat negeri ini terbebas dari bencana dan malapetaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar